Wacana kepemimpinan
nasional kian santer, terutama mendekati pemilihan umum presiden dan wakil
presiden pada pemilu 2014. Sejumlah nama telah beredar, tetapi sebagain hanya
dari kalangan partai politik yang punya peluang mengajukan pencalonan presiden
dan wakil presiden. Tantangan serius bangsa Indonesia kedepan adalah
bagaimana membagun kedaulatan politik, ekonomi, social dan budaya yang kuat
mandiri dan sejahtera. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang berkarakter
negarawanan dan visioner dalam menahkodai bangsa ke depan. Sosok itu siap
mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok, berani ambil resiko, serta
mau bekerja nyata untuk memajukan dan menyejahterakan kehidupan bangsa, meski
tidak memenuhi semua syarat negarawan yang sempurna, sebenarnya Indonesia masih
memliki beberapa tokoh yang cukup mendekati karakter tersebut dan mereka patut
di perkenalkan kepada publik untuk di jadikan panutan bagi generasi
kepemimpinan kedepan. Disatu sisi saat ini juga banyak figur pemimpin bangsa
yang jauh dari harapan masyarakat Indonesia, berbagai penyimpangan kerap
terpublis oleh media sehingga memunculkan perasaan
skeptis dari masyarakat untuk menentukan figure mana yang sesuai untuk kepemimpinan Indonesia yang lebih baik. beberapa syarat yang di tawarkan oleh tokoh – tokoh , agamawan, pengamat politik dan tokoh politis bangsa pada diskusi yang diliput harian kompas diiantaranya Lukman Hakim Saifudin, Azyumardi Azra, Yudi Latief dan Ahmad Syafi’I Ma’arif Pada FGD di beberapa kota di Indonesia, antara lain:
skeptis dari masyarakat untuk menentukan figure mana yang sesuai untuk kepemimpinan Indonesia yang lebih baik. beberapa syarat yang di tawarkan oleh tokoh – tokoh , agamawan, pengamat politik dan tokoh politis bangsa pada diskusi yang diliput harian kompas diiantaranya Lukman Hakim Saifudin, Azyumardi Azra, Yudi Latief dan Ahmad Syafi’I Ma’arif Pada FGD di beberapa kota di Indonesia, antara lain:
Sejumlah Syarat
Kepemimpinan Nasional 2014
( Harian Kompas, 15 Februari 2012/ di sarikan
dari hasil Focus Group Discussion di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, medan dan
Makasar )
No
|
Ideologi
|
Visi
|
Moral
|
Kapabilitas
|
Umum
|
1.
|
Panasila
|
Mencintai Bangsa
|
Integritas
|
Cerdas
|
Sehat
|
2.
|
Pro HAM
|
Progresif
|
Akhlak
|
Cakap
|
Kaum Muda
|
3.
|
Pluralisme
|
Menginspirasi
|
Tegas dan Kuat
|
Jiwa Pemimpin
|
Lahir dari bawah
|
4.
|
Kerakyatan
|
Optimis
|
Manajeral
|
Empati
|
|
5.
|
Tidak Kapitalistis
|
Konsisten
|
Paham politik luar
|
||
6.
|
Disiplin
|
Menurut Syafi’I ma’arif
Indonesia masih mempunyai tokoh dengan karakter bangsa yang Ideal memiliki
sifat kenegarawanan yang siap melebur seluruh kediriannya untuk kepentingan
bangsa dan Negara di atas landasan kemanusiaan yang adil dan beradab. Salah satu
tantangan dan kepentingan Indonesia adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan
bangsa kepada pemiliknya, yaitu rakyat Indonesia .bukan untuk mengeksploitasi
kekayaan bangsa ini melalui agen – agen domestikknya yang tak hirau hari depan
Indonesia. Menurut Azyumardi Azra bangsa Indonesia hari ini memerlukan sosok
pemimpin yang visioner dengan melalui realisasi sesuai dengan visinya. sehingga
tau harus melangkah kemana,dan tau tahapan – tahapan apa yang harus diilakukan.
figure pemimpin bangsa juga harus mampu mengakomodir dan memiliki
ketegasan sesuai dengan pengambilan kebijjakan yang di ambilnya dengan berbagai
konsekwensinya. Dalam konteks geopollitik dan geoekonomi Indonesia menurut
Lukman Hakim Saifudin kepemimpinan bangsa kedepan harus sungguh – sungguh
memahami Keindonesiaan mencakup keunggulan, potensi dan
tantangan, tanpa di bayangi diri sendiri dengan beban
kesejarahan masa lalu, dengan demikian sifat kediriannya sudah selesai,
sehingga tidak ada lagi kepentingan pribadi dan golongan, seluruh energinya
ditumpahkan secarah keseluruhan untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara. Disisi
lain Yudi Latief menekankan pemimpin masa depan Indonesia harus memiliki moral
Pancasila dan UUD 45 sebagai falsafah dan konstitusi bangsa ini, ia harus
menghayati tujuan Negara yang termaktub pada pembukaan UUD 45. Nilai moralitas
itu diturunkan dalam prilaku yang etis dalam arti tak punya rekam jejak
buruk dalam perjjalanan karir politiknya,sosok itu seorang nasionalis dan yang
mencintai negara dan bukan orang yang menghambakan untuk kepentingan kelompok
maupun golongan.
Tantangan kepemimpinan
Indonesia 2014
Demoralisasi yang kerap di tampilkan politisi
menjadi ancaman tersendiri dalam menentukan figure yang ideal dari kalangan
politisi pada kepemimpinan 2014 mendatang, keprcayaan public yang cenderung
merosot terhadap kalangan politisi harus disikapi secara serius agar instisuasi
politik sebagai wadah mesin pencetak figure kepemimpinan bangsa yang bersih
dari berbagi penyimpangan moral akan memperoleh kepercayaannya kembali ,
di samping itu secara substansial/ mendasar tantangan yang akan dihadapi calon
pemimpin Indonesia di 2014 kedepan sangat kompleks dan cukup beragam
diantaranya:
-
Di bidang politik:
- Menurunnya kepercayaan public
kepada partai politik
- Kaderisasi partai politik yang
mandek
-
Di bidang hukum
- Pemberantasan korupsi yang
lamban
- Penegakan hukum yang lemah
-
Di bidang Ekonomi
- Pasar bebas ASEAN yang
menjadi ancaman bagi perekonomian local
- Pembenahan sector energy dan
sumber daya mineral
- Meningktakan produksi pangan
domestic
-
Di bidang Sosial
- Jumlah penduduk yang terus
bertambah
- Beban social yang semakin berat
- Konflik hoorisontal di berbagai
daerah
Pemimpin Berkarakter dan
bermoral
Latar Belakang
Ketika Soekarno-Hatta
atas nama bangsa Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Itu
adalah awal revolusi Indonesia, berlangsung dari 17 Agustus 1945 sampai dengan
27 Desember 1949. Tetapi dengan ketetapan MPRS Soekarno mengangkat dirinya
sebagai presiden seumur hidup, yang merupakan pelanggaran suatu konstitusi.
Belanda masih menganggap dirinya berhak atas Hindia Belanda, tetapi bangsa
Indonesia juga merasa dirinya berdaulat atas Nusantara ini.
Orde Baru berlangsung
dari tahun 1968 hingga 1998. Orde baru memilih perbaikan dan perkembangan
ekonomi sebagai tujuan utamanya. Ekonomi Indonesia memang berkembang pesat pada
saat itu, program transmigrasi, KB dan memerangi buta huruf pun sukses pada masa
itu. Bahkan pendapatan per kapita pun melonjak naik. Namun itu hanyalah
merupakan gambaran kebaikan dari kesuksesan pemerintah orde baru. Padahal
didalam system pemerintahannya begitu banyak terjadi kecurangan-kecurangan,
seperti merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kebebasan
pers sangat terbatas, dan banyak terjadinya pembredelan media massa.
Pada saat itu terjadi
peristiwa yang fenomenal yaitu peristiwa Malari. Peristiwa Malari melibatkan
pemredelan 12 media cetak. Kasus Malari yang terjadi pada tanggal 15 Januari
1974 itu mencatat begitu banyak korban jiwa dan kerusakan terjadi dimana-mana.
Namun yang paling fenomenal sepanjang pembedelan media massa adalah pembredelan
atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sejumlah media massa,
antara lain Majalah Tempo, Detik, dan Editor. Ketiganya ditutup penerbitannya
karena pemberitaan yang tergolong kritis terhadap pemerintah. Dari begitu
banyaknya pembedelan yang terjadi pada masa orde baru, kasus pembredelan Tempo
adalah yang paling menarik. Karena meskipun pada waktu itu tempo dalam keadaan
yang sangat sulit, namun ia tetap berani berjuang untuk melawan pemerintah saat
itu.
Terbentuknya pemimpin
tidak dapat diharapkan secara sambil lalu dari gelombang resistensi terhadap
kekuasaan.Alam kolonial dan Orba sama-sama hegemonik melahirkan dua generasi
aktivis dengan ketangguhan komitmen pembaruan yang berbeda. Lebih dari itu,
kita tidak mengharapkan hadirnya kekuasaan opresif untuk melahirkan pemimpin
baru. Oleh karena itu, pemimpin dan kepemimpinan harus dibentuk dan disiapkan.
Di sinilah proses pendidikan seharusnya berperan.Sudah saatnya praktik
pendidikan kita meninggalkan misi reproduksi kelas sosial. Pendidikan harus
diarahkan untuk membuka pemahaman kritis dan pencarian alternatif atas
keterbatasan struktur sosial dalam menciptakan masyarakat adil, terbuka, dan
partisipatif. Tanpa pendidikan yang memberi arah transformasi sosial
masyarakat, 40 tahun ke depan kita akan dihadapkan pada problem yang sama
tentang regenerasi kepemimpinan. Saat itu mungkin masih akan terdengar
pernyataan naif, pendidikan kolonial lebih berkualitas daripada era Orba dan
Reformasi. Atau, Soekarno dan Soeharto muncul sebagai pemimpin bangsa hanya
karena wangsit dan keberuntungan.
B. Rumusan
Masalah
Melihat latar belakang
tersebut maka penulis dapat merumuskan permasalahan tersebut sebagai berikut :
1. Bagaimana
kepemimpinan Presiden Republik Indonesia dari orde lama, orde baru, dan
reformasi sampai sekarang?
C. Pembahasan
a) Kepemimpinan
Presiden Soekarno
Sebelum masuk kepokok
permasalahan diatas tersebut, hendaknya penulis menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kepemimipnan atau leader itu? Yang dimaksud dengan kepimpinan atau
leader adalah sosok yang, dengan segenap potensi dan kewenangan yang ada, mampu
mampu memotivasi, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain untuk secara sadar
dan sukarela berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan
kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin dalam memimpin organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang guna mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi dan
sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang dipimpinnya mampu berjalan
secara efektif dalam rangka mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (leadership
is the ability of an individual to influence, motivate, and enable others to
contribute toward the effectiveness and success of the organizations of which
they are members). Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang teknis
penyelenggaraannya sederhana hingga yang amat kompleks.
Ketika Soekarno-Hatta
atas nama bangsa Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Itu
adalah awal revolusi Indonesia, berlangsung dari 17 Agustus 1945 sampai dengan
27 Desember 1949. Belanda masih menganggap dirinya berhak atas Hindia Belanda,
tetapi bangsa Indonesia juga merasa dirinya berdaulat atas Nusantara ini. Di
situlah awal konflik dua negara yang melibatkan negara-negara besar. Pada waktu
yang sama, terjadi persaingan antara kelompok yang mempunyai ideologi
berbeda-beda. Mereka menjadikan dirinya sebagai pemimpin revolusi dengan
mengarahkan jalannya revolusi Indonesia. Dalam kurun waktu itu kepemimpinan
Soekarno-Hatta jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan menghadapi ujian.
Kepemimpinan dwitunggal ini semula disangsikan oleh beberapa orang, seperti
halnya Sjahrir. Tetapi setelah ia berkeliling Jawa ia melihat bahwa
sesungguhnya masyarakat Indonesia mengakuinya sebagai pemimpin bangsa. Akhirnya
ia memutuskan untuk membantunya. Tetapi dukungan terlalu kuat buatnya. Bahkan
Sjahrir, Tan Malaka, Iwa Kusumasumantri dan Wongsonegoro merupakan orang
kepercayaan Soekarno-Hatta, untuk menggantikannya apabila kedua tokoh ini
nantinya ditangkap atau dibuang Sekutu. Hal ini tercantum dalam testamen
politik yang dibuat berdasarkan usul dari Tan Malaka. Sebulan setelah
kemerdekaan, kepemimpinan Soekarno-Hatta menghadapi ujian dengan diadakan rapat
raksasa oleh golongan muda, 19 September 1945 di IKADA, Jakarta. Sebenarnya
pemerintah kurang menyukai rapat raksasa tersebut, karena hal ini secara tidak
langsung dianggap sebagai tantangan terhadap kekuasaan Jepang. Apabila massa
rakyat rapat tidak sabar, bisa menimbulkan kerusuhan dan memakan korban jiwa.
Berhubung rapat sudah diumumkan, kalau dibatalkan tentunya akan memberi kesan
pengecut, maka tidak ada jalan lain kecuali memutuskan untuk hadir dalam rapat
raksasa itu. Setelah lima jam massa rakyat menunggu, akhirnya Soekarno-Hatta
berada di tengah lautan massa. Di atas mimbar Soekarno-Hatta menyatakan
kegembiraan atas kesetiaan rakyat dan meminta massa pendengarnya membubarkan
diri. Mendengar perintah itu ternyata massa patuh, dan melihat kenyataan itu
penguasa Jepang mau tak mau menunjukkan rasa kagum dan hormat terhadap
kepemimpinannya.
Ada tiga bulan
dwitunggal itu menduduki jabatan tertinggi di Republik ini, mereka diredusir
menjadi simbol belaka. Sementara itu, Sjahrir tampil sebagai Perdana Menteri,
dan kabinet presidensial dirubah menjadi kabinet parlementer, yang dikontrol
oleh wakil-wakil rakyat di KNIP. Sebenarnya perubahan sistem pemerintahan ini
menyimpang dari UUD 1945. Walaupun begitu, ketika kota Surabaya bergolak. Di
mana arek-arek Surabaya mengangkat senjata melawan Inggris, akhirnya pihak
Inggris merasa terpojok dan meminta bantuan Soekarno Hatta untuk meredakan
kemarahan rakyat Indonesia. Permintaan tersebut dikabulkan Soekarno-Hatta dan
Amir di tengah lautan massa yang mengamuk.
Dengan karisma pemimpin
tersebut, akhirnya arek-arek Surabaya meletakkan senjata sebagai tanda gencatan
senjata kedua belah pihak. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, setelah
dwitunggal meninggalkan kota Surabaya dan terbunuhnya Brigjen Mallaby,
berkobarlah pertempuran yang dikenal dengan “Peristiwa 10 November 1945“.
Dikenal sebagai lambang kegigihan arek-arek Surabaya menentang kolonialisme.
Ternyata adanya pemisahan pemerintahan hanya melemahkan kedudukan Sjahrir saja.
Persatuan Perjuangan melancarkan kritik atas konsesi-konsesi yang diberikan di
meja perundingan. Akhirnya ia memutuskan mengundurkan diri, tetapi Soekarno
masih mempercayakannya sebagai Perdana Menteri kembali.
Kemudian Sjahrir balik
menangkapi Tan Malaka beserta pimpinan Persatuan Perjuangan yang lainnya.
Dengan harapan agar Persatuan Perjuangan untuk sementara waktu tak berbuat
banyak dalam melancarkan oposisinya. Tetapi Jenderal Soedarsono, ketika ia
kembali ke Yogyakarta dari Jawa Timur dan menekan presiden untuk membubarkan
kabinet serta membentuk kabinet sesuai dengan usulannya. Melihat situasi itu
Soekarno mengambil alih pimpinan dan memerintahkan pembebasan Sjahrir. Dalam
pidatonya di radio, ia mengecam perbuatan tersebut dan dianggap lebih berbahaya
daripada Belanda. Mereka, para penculik dianggap tidak dapat membedakan antara
oposisi dan destruksi. Peristiwa ini dikenal dengan nama “Peristiwa 3 Juli
1946“. Ternyata Sjahrir tidak dapat berlama-lama bertahan sebagai Perdana
Menteri. Oposisi dari sayap kiri, yang menekankan perjuangan daripada diplomasi
menganggap Sjahrir terlalu jauh memberi konsesi bagi Perjanjian Linggarjati.
Akhirnya ia memutuskan mundur, walaupun Soekarno masih tetap menginginkan
Sjahrir tetap memegang jabatan yang keempat kali, tetapi tanpa hasil.
Penggantinya, Amir
Sjariffudin mengalami nasib sama. Ia dianggap gagal dalam menangani Persetujuan
Renville, 19 Januari 1948. Masyumi dan PNI menarik dukungannya sehingga
menimbulkan krisis kabinet. Dengan mundurnya Amir Sjariffudin, Soekarno
memutuskan untuk membentuk sebuah kabinet presidensial, dengan mengangkat Hatta
sebagai Perdana Menteri. Dan akhirnya Hatta berhasil mempertemukan PNI dan
Masyumi dalam membentuk satu tim kerja sama pemerintah yang kuat.
b) Kepemimpinan
Presiden Soeharto
Bangsa dan masyarakat
Indonesia seharusnya dapat lebih jujur mengakui jasa dan keberhasilan yang
telah diperbuat almarhum HM Soeharto saat memimpin bangsa ini selama 32 tahun
pada era Orde Baru (Orba). Hendaknya masyarakat tidak hanya melihat Pak Harto
dari kesalahan dan “dosa” selama memimpin, antara lain dituding berlaku dengan
“tangan besi” dan secara keras menghadapi “musuh-musuh” politiknya. Tudingan
kasus-kasus pelanggaran HAM dan persoalan hukum yang pernah melilit mantan
Presiden RI itu, kalau disejajarkan dengan jasa, pengabdian, maupun prestasi
yang berhasil diraih bangsa Indonesia saat Pak Harto memimpin bangsa ini, masih
lebih besar dan banyak jasa serta pengabdiannya dibandingkan kesalahan dan
dosa-dosanya tersebut.
Prestasi Pak Harto saat
memimpin itu, dapat menghantarkan bangsa Indonesia meraih predikat swasembada
pangan, berhasil menggulirkan program Keluarga Berencana (KB) untuk mencegah
ledakan penduduk, memacu perekonomian nasional, menjamin stabilitas dan
keamanan nasional, serta menempatkan posisi bangsa Indonesia terhormat di mata
dunia internasional. Bangsa dan masyarakat kita harusnya mengakui prestasi dan
capaian gemilang selama Pak Harto memimpin bangsa ini, sehingga dapat
memberikan maaf atas kesalahan atau dosa yang dianggap juga telah dilakukan
saat memimpin itu.
Pak Harto pernah
menerapkan kebijakan “tangan besi” dan “keras” menghadapi “musuh” politiknya,
merupakan penyikapan atas kondisi objektif bangsa dan masyarakat kita pada saat
itu yang mesti dengan pendekatan “keras” agar bisa membangun bangsa yang besar
ini dengan tenang dan aman. Kenyataannya pula Pak Harto nyaris tak dapat
berlaku keras saat menghadapi aksi massa yang menentang kepemimpinannya
menjelang masa akhir sebagai Presiden, padahal dapat saja kebijakan “tangan
besi” juga diterapkan bagi masyarakat banyak saat itu. Ternyata Pak Harto tidak
dapat melakukannya kepada rakyat kebanyakan, walaupun untuk menghadapi aksi PKI
(Partai Komunis Indonesia, red) dan para lawan politiknya bisa bertindak sangat
keras.
Orde Baru berlangsung
dari tahun 1968 hingga 1998. Orde baru memilih perbaikan dan perkembangan
ekonomi sebagai tujuan utamanya. Ekonomi Indonesia memang berkembang pesat pada
saat itu, program transmigrasi, KB dan memerangi buta huruf pun sukses pada
masa itu. Bahkan pendapatan per kapita pun melonjak naik. Namun itu hanyalah
merupakan gambaran kebaikan dari kesuksesan pemerintah orde baru. Padahal
didalam system pemerintahannya begitu banyak terjadi kecurangan- kecurangan,
seperti merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kebebasan
pers sangat terbatas, dan banyak terjadinya pembredelan media massa.
Pada saat itu terjadi
peristiwa yang fenomenal yaitu peristiwa Malari. Peristiwa Malari melibatkan
pemredelan 12 media cetak. Kasus Malari yang terjadi pada tanggal 15 Januari
1974 itu mencatat begitu banyak korban jiwa dan kerusakan terjadi dimana-mana.
Namun yang paling fenomenal sepanjang pembedelan media massa adalah pembredelan
atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sejumlah media massa,
antara lain Majalah Tempo, deTIK, dan Editor. Ketiganya ditutup penerbitannya
karena pemberitaan yang tergolong kritis terhadap pemerintah. Dari begitu
banyaknya pembedelan yang terjadi pada masa orde baru, kasus pembredelan Tempo
adalah yang paling menarik. Karena meskipun pada waktu itu tempo dalam keadaan
yang sangat sulit, namun ia tetap berani berjuang untuk melawan pemerintah saat
itu.
c) Kepemimpinan
Presiden B.J. Habiebie
Kepemimpinan presiden
B.J. Habiebie banyak kalangan pakar HTN mengatakan kepemimpinan yang berumur
tamanan jagung, karena Habiebie hanya menggantikan kepemipinan presiden
Soeharto yang dilengserkan secara paksa pada tahun 1998 oleh masyarakat
Indonesia. Sehingga yang waktu itu menjabat wakil presiden adalah B.J.
Habiebie. Menurut konstitusi kita yang dimana penggantian presiden kita
Soeharto sudah sesuai dengan konstitusi kita, karena konstitusi kita mengatur
tentang hal tersebut.
Sehingga pada masa
kepemimpinan Habiebie tidak begitu berjalan dengan mulus, karena hanya seumuran
jagung. Dan banyak kalangan masyarakat banyak menyayangkan pada kepemimpinan
presiden B.J. Habiebie ada salah satu wilayah Indonesia yang lepas yaitu
Timor-timor yang sekarang menjadi Negara Timor Leste.
d) Kemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur)
Abdurrrahman Wahid atau
yang sering disebut Gus Dur adalah sosok pemimpin yang sangat akrab di telinga
kita. Mantan Presiden ke-4 RI ini bahkan sudah dikenal di seluruh dunia. Sepak
terjang dan gagasan-gagasannya yang kotroversial menjadi daya tarik tersendiri
bagi siapa saja yang memperbincangkannya. Ibarat telaga yang tak pernah kering
untuk ditimba. Selain dikenal sebagai aktivis prodemokrasi, perjuangan dan
pembelaannya kepada kaum minoritas benar-benar mendapat apresiasi yang positif
dari banyak kalangan, termasuk dunia internasional meskipun sebenarnya juga
tidak sedikit yang tidak suka. Lebih dari itu, ketokohan dan kepemimpinan Gus
Dur dalam mempelopori dialog antar umat beragama, mendapat respond an apresiaai
yang luar biasa dari masyarakat internasional. Ini terbukti dengan diterimanya
penghargaan Global tolerance Award oleh Gus Dur dalam peringatan Hari Hak Asasi
Manusia Internasional tanggal 10 Desember 2003 di markas PBB New York.
Pada sisi lain, proses
terpilihnya Presiden Abdurrahman wachid bisa dikatakan unik padahal, partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai pendukungnya hanya memiliki 10 % kursi
di DPR, sementara partai Golkar dan PDI Perjuangan yang memiliki jumlah suara
lebih besar gagal memperoleh kursi presiden. Pembahasan dan terhadap
kepemimpinan ala Gus Dur ini dimaksudkan sebagai upaya dan sarana berlatih
melakukan analisis kepemimpinan. Di samping itu, pembahasan ini juga bertujuan
memperoleh bahan diskusi dan informasi yang jelas tentang tentang gaya
kepemimpinan Gus Dur. Lebih spesifik lagi gaya kepemimpinan Gus Dur saat
menjadi presiden RI serta kelebihan dan kekurangannya?
Dalam kaitannya dengan
kepemimpinan demokratis. Dipercaya bahwa tidak ada satupun pendapat yang lebih
baik dari yang lain, sampai suatu pendapat itu terbukti dapat terlaksana dengan
lebih baik dari yang lain. Namun demikian, dalam demokrasi kita mengenal
prinsip siapa saja yang akan terkena suatu kewajiban, mempunyai hak untuk
berpartisipasi dalam membuatnya. Jadi claim bahwa suatu golongan lebih berhak
bersuara tentang penyelenggaraan sistem persekolahan, adalah tidak sesuai
dengan prinsip demokrasi. Masih lagi, apapun pendapat yang siterima, masih perlu
diuji dalam praktik; kita tidak akan mempertahankan pendapat yang ternyata
gagal dalam praktik.
Dalam praktik demokrasi
di Indonesia khususnya, adalah wajar jika pemimpin untuk mendelegasikan
pekerjaan atau tugas-tugas tertentu. Dalam hal ini pimpinan diharap dapat
bertanggung jawab dan sekaligus kompeten. Pimpinan dalam melakukan tugasnya,
tidak perlu mencari nasihat dari orang lain dalam pembuatan keputusan (kecuali
hal itu memang telah ditentukan sebelumnya oleh aturan yang ada). Tidak perlu
mencari nasihat mungkin dapat menimbulkan kesan adanya kepemimpinan yang tidak
bijaksana, tapi kepemimpinan yang demikian itu sendiri tidak perlu berarti
tidak demikratis, tidak ada konflik disini dengan kewajiban pimpinan menghargai
hak-hak demokrasi yang bersifat pribadi dari orang lain; partisipasi dalam
pembuatan keputusan bukanlah suatu hak pribadi, melainkan hak yang terkait
dengan kedudukan seseorang. Contohnya, Presiden RI tidak perlu berkonsultasi
dengan tiap warganegara untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya, tapi
menyatakan keadaan bahaya tersebut atas dasar aturan yang telah ada (yang
mungkin telah dibuat oleh wakil-wakil dari pada warganegara tersebut secara
demokratis) Sementara itu tiap orang memiliki hak asasi atau pribadi yang
dijamin dengan Undang-Undang Dasar. Seorang pemimpin yang demokratis tidak akan
melanggar hak-hak tersebut; jika sampai ia melanggarnya, maka ia akan dipaksa
untuk memperbaiki cara-cara yang telah tidak sesuai itu, atau ia akan mendapati
dirinya didepak dari posisi kepemimpinannya. Apabila hak-hak pribadi itu tidak
dipersoalkan, maka kriterianya adalah adanya pemerintahan atas dasar
perwakilan. Prinsipnya sama, yaitu kelompok yang mengawasi adalah kelompok yang
terkena akibat, tetapi mekanismenya saja yang berbeda. Bila suatu kelompok
secara bebas/demokratis mendelegasikan hak mengontrolnya kepada seorang
representatif, maka representatif itu sesungguhnya adalah kelompok yang ia
wakili itu sendiri. Keunikan-keunikan Gus Dur sebagai seorang pemimpin terlihat
sebagai berikut.
Pertama, Gus Dur
memiliki wacana religio-kultural yang dalam dan kuat dalam banyak hal yang
tidak tampak (intangible) tetapi mendasari semua tindakannya dalam
mengimplementasikan peran-perannya (tangible). Hal ini disebabkan Gus Dur
menguasai nilai-nilai agama dan budaya lokal, filosofis dan dasar-dasar
ideologis. Pemanfaatan terhadap dasar-dasar ideologis atau (ideologically
based) dan sistem keyakinan yang memicu secara positif (positive beliefs
system) dapat memunculkan dukungan masyarakat dan terelemenasinya konflik
budaya dan keagamaan.
Disamping itu, Gus Dur
juga memiliki kharisma/daya tarik yang luar biasa sehingga mempunyai pengikut
yang jumlahnya sangat besar. Yang menarik, para pengikut Gus Dur kadang tidak
mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan penlaku serta gaya Gus Dur.
Bisa saja kharismatik Gus Dur ini menggunakan gaya yang otokratik atau
diktatorial, namun para pengikutnya tetap setia kepadanya. Contohnya adalah
pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang secara struktural terpisah
dari NU, namun secara kultural para pengikut cenderung mengikuti kemanapun Gus
Dur melangkah. Padahal notabene pengikut PKB adalah pengikut NU dan simpatisan
Gus Dur. Lebih lanjut dampak dari kepemimpinan Gus Dur tipe ini mengakibatkan
PKB terpecah menjadi dua kubu, namun sekali lagi Gus Dur tampil sebagai
penyelamat PKB yang sekarang ini dinahkodai Muhaimin Iskandar.
Ketiga, Gus Dur secara
inspirasional menunjukan kualitas personal yang mempesona (attractiveness
personal) yang dicirikan dengan sifat proaktif, kolaboratif, humanis, berjiwa
avant-garde yang kesemuanya diorientasikan pada konsep keteladanan (al-uswat
al-hasanah). Artikulasi Jawa tentang Gus Dur sebagai pemahaman “digugu lan
ditiru” menjadi faktor determinan bagi tampilnya peran kepemimpinan yang
membangkitkan semangat dan menjadi inspirasi (Inspirational leadership).
Setidak-tidaknya seorang pemimpin yang inspiratif senantiasa memiliki
gagasan-gagasan brilian, kreatif, inovatif yang mampu mencari jalan keluar bagi
semua permasalahan bangsa.
Dalam banyak kasus, gaya
kepemimpinan Gus Dur cenderung nyleneh. Di tengah-tengah orang mensakralkan
lembaga kepresidenan, Gus Dur malah sebaliknva. Istana Presiden yang semula
terkesan tertutup dan formal, diubahnya menjadi “istana rakyat” dengan
mengadakan open house bagi semua masyarakat, tidak peduli rakyat atau pejabat.
Dalam pandangan demokrasi tindakan semacam ini adalah positif dalam arti
memperlakukan rakyat sama martabat dan derajatnya. Siapapun yang bernama rakyat
pantas dan berhak “menikmati” istana kepresidenan.
Pada penstiwa lain, Gus
Dur merupakan seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan, salah satunya
ketika ia berani mengangkat Khoflfah Indar Parawansa (yang relatif dianggap
masih “ijo” dan tak ada apa-apanya”) sebagai menteri. Langkah Gus Dur ini
merupakan bentuk terobosan eksperimentatif, namun justru paling relevan. Gus
Dur mencoba menampilkan kader-kader muda yang boleh dikatakan amat minim
terpengaruh “Sekolah Orde Baru” (Tjahyono, 2002).
Gayanya yang lain adalah
suka melemparkan gagasan yang sangat kontroversral.Misalnya ide membuka
hubungan diplomatik dengan Israel. Kontan saja ide tersebut mendapat reaksi
keras dari lawan-lawan politiknya. Sebab dalam pandangan banyak orang, terutama
kalangan islam garis keras, Israel adalah bangsa merampas tanah Palestina. Juga
langkahnya memberhentikan para menteri dari partai yang telah mengantarkanya
menjadi Presiden adalah kontrovesial ucapannya, termasuk ancaman Dekrit
presiden dan beberapa daerah akan memerdekakan diri bila MPR menggelar Sidang
Istimewa menuntut pertanggungjawaban beliau. Ada kesan Gus Dur memaksakan
kehendak sehingga popularitas Gus Dur saat itu semakin merosot yang akhirnya
diberhentikan menjadi presiden melalui sidang istimewa MPR.( “lndonesia
Sepanjang Tahun 2001” Kompas) Meskipun demikian, daya tarik kharismanya tidak
pudar. Terutama kalangan warga nahdliyin, mereka tetap menghormati dan mengakui
kepemimpinannya.
Setidaknya uraian di
atas memberikan infbrmasi kepada kita tentang bagaimana tipe ataupun gaya
kepemlmpinan Gus Dur tidak monolitik. Tetapi, bervariasi sangat situasional.
Suatu ketika beliau cenderung dcmokratis, pada saat yang lain beliau bisa
ccnderung otokratik bahkan bisa sangat kharismatik. Dengan demikian, kelebihan
dari gaya kepemimpinan Gus Dur adalah konsistensinya pada perjuangan membela
hak-hak kaum minoritas dan demokrasi dan penghargaannya yang tinggi terhadap
perbedaan Sikap kontroverialnya justru bisa dijadikan pelajaran berharga dalam
Mendewasakan anak bangsa untuk tidak gampang kaget dengan sesuatu yang berbeda.
Kekurangan gaya kepemimpinan ala Gus Dur bisa menimbulkan krisis kewibawaan seorang
pemimpin karena ada kesan otoriter dan pernimpin tidak bekerja dengan standar-
standar norma yang .jelas. Keunikannya (baca: nyeleneh) dalam menentang arus
pada umumnya: ancaman disintegrasi P. Madura) memberi kesan pemimpin tidak bisa
mengendalikan diri dengan baik. Gaya kepemimpinan seseorang tidak bersifat
“fixed”. Artinya, gaya kepemimpinan seseorang bisa berubah dari tipe dasarnya
bila situasi menuntutnya demikian, meskipun perubahan itu kadang bersifat
sementara. Gaya kepemimpinan Gus Dur diwarnai oleh gaya dan tipe khansmatik,
demoktaris, dan pada situasi tertentu bergaya otokratis.
e) Kepemimpinan
Presiden Megawati
Megawati dilantik
sebagai presiden kelima dalam sejarah republik menggantikan K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur). Sebagai seorang pemimpin, adalah merupakan hal yang mutlak
bagi Megawati untuk memahami konstelasi kepemimpinannya. Dengan pemahaman
tersebut, Megawati diharapkan mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu
efektivitas kepemimpinannya.
Teori kepemimpinan
mengatakan bahwa ada dua elemen pokok konstelasi kepemimpinan. Elemen pertama
adalah pengikut (followers). Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat
mengklaim dirinya sebagai seorang pemimpin tanpa pengikut. Meski jumlahnya
mungkin cuma dua orang, pemimpin tetap memerlukan pengikut, sebab di situlah
letak legitimasinya. Teori kepemimpinan lebih lanjut menyebutkan adanya lima
jenis pengikut. Macam pengikut yang pertama adalahpassive followers.
Mereka ini merupakan orang-orang EGP (emangnya gue pikirin). Terserah pemimpin
mau apa, selama tak dirugikan/disakiti atau selama masih diuntungkan, mereka
tak terlalu peduli.
Macam berikutnya disebut conformist
followers. Di sinilah para ‘yes men’ atau ABS (asal bapak senang)
tergabung. Orang-orang ini akan ikut saja apa yang diperintahkan oleh sang
pemimpin tanpa mencernanya dengan logika. Conformist followers bahkan
rela mengambil risiko demi keselamatan pemimpin mereka.
Macam pengikut yang
ketiga adalah pragmatist followers. Termasuk dalam kelompok ini adalah para
‘Sangkuni’ yang ‘kanan-kiri oke’ atau ikut saja ke mana angin berhembus: kalau
angin ke arah Gus Dur, mereka ikut Gus Dur; kalau angin ke arah Megawati,
mereka pasti akan ikut Megawati.
Macam pengikut
selanjutnya dinamakan alienated followers. Sesungguhnya mereka yang
tergabung kelompok ini bukanlah pengikut. Mereka terpaksa menerima sang
pemimpin sebagai kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Dengan demikian, alienated
followers dapat dikatakan sebagai pengikut setengah hati.
Dalam hal menangani
pemulihan (recovery) perekonomian, Megawati bisa meniru Soeharto yang tak hanya
memiliki duet kompeten, yaitu Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana yang dapat
dikatakan sebagai perumus grand strategy pembangunan nasional di era orba, tapi
juga terus mempertahankan pasangan tersebut untuk membantu Soeharto mewujudkan
grand strategy tersebut di masa-masa awal pemerintahan orba yang oleh banyak
pihak diakui sebagai masa-masa terberat pemulihan perekonomian. Kompetensi dan
konsistensi tim ekonomi Soeharto direspon positif oleh pasar karena merupakan
indikasi kepastian berusaha.
f) Kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Kita pahami bersama
tumbuh besarnya partai demokrat menjadi partai papan atas dipercaturan politik
Indonesia tidak terlepas dari figur SBY, tanpa memperkecil keberadaan pengurus
partai demokrat lainnya, bisa dikatakan partai demokrat adalah SBY. Pada pemilu
presiden 2009 – 2014 jika SBY dan pasangannya terpilih, maka ini adalah periode
terakhir kepemimpinan SBY sebagai Presiden. Tentunya Partai demokrat juga
memperhitungkan masa depan eksistensi dan mempertahankan prestasi partai
demokrat pasca 2014 setelah SBY tak akan bisa lagi dicalonkan menjadi Presiden,
maka disinilah terjadi kalkulasi politik untuk seorang wakil presiden.
Secara konstitusional
pemerintahannya adalah pemerintahan presidensial, tetapi dalam praktik
penyelenggaraannya adalah sistem parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan
Yudhoyono tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri karena harus
mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan DPR.
Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet, 19 menteri berasal dari delapan partai
politik. Kalau akomodasi partai dalam kabinet direfleksikan dalam kekuatan di
DPR, partai yang ikut memerintah sebanyak 404 kursi (sekitar 73 persen) dan di
luar pemerintah 146 kursi (sekitar 23 persen). Melihat konstruksi kekuasaan
tersebut, sebenarnya pemerintahan SBY-JK adalah pemerintahan kolektif yang
lemah dan rawan konflik kepentingan dan dapat mengancam kelangsungan
pemerintahan. Konflik kepentingan bahkan mungkin terjadi antara Presiden dan
Wakil Presiden. Oleh sebab itu, energi pemerintahan SBY-JK, selain terkuras
untuk menjaga hubungan dengan partai politik yang duduk dalam kabinetnya agar
tetap harmonis, juga terforsir untuk memelihara duet mereka.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dikenal sebagai sosok yang ‘melankolis’. Rektor Universitas
Paramadina Anies Baswedan mengatakan gaya kepepimpinan SBY yang cenderung
memelas sangat tidak menguntungkan, karena memicu kegoncangan yang menyebabkan
ketidakpastian politik dan demokrasi.
Setelah banyak dinilai
gagal dalam memperbaiki ekonomi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali
dinilai belum jelas dalam mengusung sistem perekonomian. Hal itu pulalah yang
menyebabkan kepemimpinan SBY tidak banyak memberikan perubahan dan perbaikan di
sektor perekonomian. Demikian disampaikan ekonom dari Universitas Indonesia
Ninasapti Triaswati dalam acara diskusi Mencermati Ekonomi Neoliberal Kubu SBY
dan Ekonomi Kerakyatan Prabowo-Rizal Ramli.
D. Kesimpulan
Dari uraian-uraian
diatas tersebut dapat penulis simpulkan bahwa pada masa kepemimpinan Presiden
Soekarno yang merupakan tunggang revolusi. Dimana pada masa kepemimpinan
Presiden Soekarno, yang menetapkan melalui ketetapan MPRS bahwa Soekarno
menjadi presiden seumur hidup. Merupakan suatu pelanggaran terhadap konstitusi
kita. Kemudian pada masa kepemimpinan presiden Soeharto, merupakan suatu
gebrakan terhadap bangsa Indonesia. Dimana pada masa kepemimpinan Soeharto
merupakan puncak kejayaan bangsa Indonesia. Dimana pada segala Sektor bangsa
Indonesia mengalami kemajuan pesat. Dan kemajuan yang sangat terlihat adalah
program KB, transmigrasi, dan memerangi buta huruf, dan lain-lain. Kemudian pada
masa kepemimpinan B.J. Habiebie yang mewarisi kepemimpinan presiden Soeharto,
dimana pada saat dia menjabat kursi kepresiden mengalami krisis disegala bidang
walaupun tidak semua bidang. Yang paling menonjol pada masa kepemimpinan
Habiebie adalah lepasnya provinsi timor-timor yang menjadi bangsa timor leste.
Dan sedangkan pada masa kepemimpinan presiden Gusdur atau Abdurrahman Wahid,
banyak kalangan yang berpendapat merupakan sosok kontraversial. Selain dikenal
sebagai aktivis prodemokrasi, perjuangan dan pembelaannya kepada kaum minoritas
benar-benar mendapat apresiasi yang positif dari banyak kalangan, termasuk
dunia internasional meskipun sebenarnya juga tidak sedikit yang tidak suka.
Lebih dari itu, ketokohan dan kepemimpinan Gus Dur dalam mempelopori dialog
antar umat beragama, mendapat respond an apresiaai yang luar biasa dari
masyarakat internasional. Ini terbukti dengan diterimanya penghargaan Global
tolerance Award oleh Gus Dur dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia
Internasional tanggal 10 Desember 2003 di markas PBB New York. Kemudian pada
masa kepemimpinan presiden Megawati yang menggantikan presiden Abdurrahman
Wahid hanya beberapa waktu, banyak kalangan berpendapat tidak berhasil dalam
kepemimpinannya. Tetapi kalau kita pikir dalam waktu yang relative singkat mana
mungkin dapat berhasil dalam kepemimpinannya, sedangkan dalam waktu penuh saja
kepemimpinan suatu presiden kadang-kadang tidak berhasil. Walaupun dalam masa
kepemimpinannya ada beberapa yang dilepaskan oleh beliau contohnya satelit palapa
yang dilepas begitu saja. Dan serta pada masa kepemimpinan presiden Susilo
Bambang Yudhoyono merupakan sosok kepemimpinan yang yang dianggap lembek,
hati-hati atau sering dikatakan ragu-ragu, serta disiplin partai yang lemah.
Setelah banyak dinilai gagal dalam memperbaiki ekonomi, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kembali dinilai belum jelas dalam mengusung sistem perekonomian. Hal
itu pulalah yang menyebabkan kepemimpinan SBY tidak banyak memberikan perubahan
dan perbaikan di sektor perekonomian.
Sumber: Dwi
Khalifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar